Rasa
nasionalisme kita memang paling mudah tersulut. Asal ada kata
'Malaysia', ungkapan seperti 'batas negara' atau 'kedaulatan negara',
dan jargon seperti 'pencaplokan wilayah', kita sudah gempar.
Yang menarik, informasi ini selalu muncul dari anggota Dewan Perwakilan
Rakyat. Dan kali ini, muncul di tengah pemeriksaan Badan Anggaran DPR
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kita tidak memungkiri kenyataan bahwa daerah-daerah perbatasan terluar
di Indonesia dalam keadaan terbengkalai. Kebutuhan listrik,
telekomunikasi, pangan, bahan bakar, sampai semen lebih sering terpenuhi oleh negara asing tempat kampung mereka berbatasan daripada dari Indonesia sendiri.
Isu-isu ini selalu membangkitkan sentimen kita akan Indonesia. Dan
politisi dari berbagai kalangan pun langsung mengomentarinya, seakan
mengeraskan suara kita akan apa yang seharusnya dilakukan oleh
pemerintah. Dalam beberapa hari terakhir, kita sudah mendengar dari Megawati Soekarnoputri, Wiranto, Jusuf Kalla, Ketua MPR, sampai pengamat Hikmahanto Juwana.
Di tengah itu, baik Panglima TNI maupun Menteri Luar Negeri, berusaha meyakinkan bahwa pencaplokan tidak mungkin terjadi.
Selama beberapa pekan, kita akan terus mendengar soal pentingnya
membangun daerah perbatasan, bukan sebagai halaman belakang, tapi pagar
terdepan Indonesia. Posko-posko bela negara bermunculan, begitu juga
demonstrasi yang menuntut pemerintah menjaga kedaulatan negara.
Kemudian, seperti biasa, isu ini akan mereda. Orang kembali lupa dengan
betapa tertinggalnya penduduk Indonesia yang tinggal di perbatasan,
kemudian berkutat dengan apapun kasus korupsi, hukum, maupun politik
yang sedang hangat saat itu. Sampai kemudian muncul 'Tanjung Datu' atau
'Camar Wulan' lain yang akan muncul di masa depan. Dan siklus ini pun
berulang lagi.
Sekadar informasi, pada 2015 nanti ASEAN Community mulai berjalan. Saat
itulah, kita mengujicoba kawasan ASEAN menjadi sebuah komunitas yang
menyatu dari sisi politik, pertahanan, perdagangan. Seperti halnya Uni
Eropa. Makin ke sini, trennya, batas fisik negara menjadi semakin tidak
penting. Apalagi di era internet, yang sudah nyaris membuat semuanya
tanpa batas.
Dalam kekuatan ekonomi, politik internasional, dan diplomatik pun,
negara-negara merasa lebih penting jika dapat mengasosiasikan diri
dengan kelompok kuat, seperti G20 misalnya. Lalu, kenapa kita masih
terpaku pada perdebatan soal batas fisik wilayah? (sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar