Keanekaragaman
hayati di tempat ekstrim termasuk daerah yang jarang diteliti. Tapi
kita sudah cukup paham beberapa hal. Berikut tentang kehidupan dasar
laut.
Ada sebuah pertanyaan, bagaimana mahluk scavenger (pemakan bangkai) di dasar samudera dapat bertahan hidup dengan begitu sedikitnya makanan yang bisa sampai ke lantai laut?
Coelacanth
Coba
kita bayangkan, saat seekor ikan tuna mati di samudera, bangkainya
mungkin tidak akan sempat ke dasar. Di tengah jalan, ia dapat disambar
oleh koloni ikan dan habislah harapan para penunggu di dasar laut.
Untuk
memahami hal ini, mari kita bayangkan dasar lautan sebagai sebuah
tiang. Permukaan laut sebagai puncak tiang, sementara pangkal yang
tertancap di lantai adalah dasar lautan. Apa yang akan kita temukan
pada tiang ini?
Pertama,
yang mungkin langsung kita kenali adalah jumlah hewan juga semakin
sedikit. Aldea et al (2008) misalnya, menemukan kalau semakin dalam
semakin sedikit jenis kerang (gastropoda dan bivalvia).
Ada sebuah keseimbangan. Banyak yang mati, tapi sedikit yang dikubur. Dan karenanya, sedikit pula yang menunggu di kuburan.
Tampaknya
masalah kita telah terjawab. Hewan yang tinggal di dekat permukaan
justru terlalu banyak jika saat mereka mati, tubuh mereka tenggelam
hingga ke dasar.
Kenyataannya,
Drazen (2002) menemukan kalau ikan scavenger di dasar laut, sama
sekali tidak terpengaruh oleh variasi jumlah hewan yang tenggelam. Baik
ada 1000 ekor ataupun hanya 20 ekor yang sampai ke dasar, ikan-ikan
ini tidak menjadi tamak ataupun menjadi irit makanan. Keseimbangan
sepertinya sangat kuat di dasar samudera.
Para
hewan dasar laut hidup tenang dan bersahaja. Hampir semua bahkan
justru merasa tersiksa kalau naik mendekati permukaan. Sebagai contoh,
larva Echinus echinus tidak akan dapat berkembang kalau tekanannya
tidak seperti di dasar laut (Tyler dan Young, 1998).
Kelihatannya
seperti itu, adem ayem. Tapi tunggu dulu. Tidak semudah itu. Beberapa
siluman dasar laut seringkali berpatroli menghajar penduduk. Ya,
predasi tetap terjadi di dasar samudera.
Kemp et
al (2006) memburu para siluman ini tanpa hasil. Dan merekapun
menisbahkan menurunnya jumlah kepiting scavenger (Munidopsis crassa)
pada siluman dasar laut bernama Benthoctopus sp, gurita dasar laut.
Tapi jangan senang hati dulu kalau Pirates of Carribean mendadak jadi
kenyataan.
Kepiting scavenger, Munidopsis
Benthoctopus bukanlah
gurita yang besar. Seperti penghuni dasar laut lainnya, ia bertubuh
kecil (Polloni et al, 1979). Walau kecil, ia cukup mampu memangsa
kepiting yang lengah.
Gurita dasar laut, Benthoctopus sp
Dasar
laut dipenuhi oleh para scavenger, sedikit predator dan beberapa
spesies yang tidak jelas. Dikatakan tidak jelas karena kita belum dapat
menentukan apakah ia scavenger atau predator, atau lainnya. Ilmuan
sangat berhati-hati dalam menggolongkan hewan dasar laut.
Britton
dan Morton (1994) misalnya, tidak mau mengakui kalau sebuah hewan
merupakan scavenger jika ia tidak melihat langsung hewan tersebut
mendekati bangkai atau memakan bangkai.
Bulu babi dasar laut, Echinus
Mungkin
kita terlalu buru-buru mengatakan kalau hewan di dasar laut semuanya
kecil, gepeng dan konyol. Survey dasar laut, terutama daerah yang
topografinya bergerigi, sulit dilakukan, sehingga walaupun dasar laut
Hawaii dalamnya lebih dari 4000 meter, hanya 2000 meter saja kemampuan
para peneliti untuk mencapainya (Borets, 1986).
Dan
benarlah kiranya kalau kita terburu-buru. Sebagian besar
ikan scavenger, justru semakin besar ukurannya saat semakin ke dasar
samudera. Ini pula yang membuat Anderson (2005) curiga kalau
Symenchelys parasitica, bukanlah scavenger. Ikan ini unik karena
ukurannya justru mengecil saat laut semakin dalam. Analisa isi perut
menunjukkan kalau ia memang scavenger.
Beberapa
berpendapat kalau hewan dasar laut sebenarnya biasa saja. Tidak ada
ukuran yang lebih besar atau lebih kecil. Kebetulan saja, sampel yang
kita peroleh di permukaan adalah anak ikan, sementara di dasar adalah
bapaknya ikan atau mbah nya ikan.
Metode
penelitian dasar laut umumnya menggunakan kamera yang mengeluarkan
cahaya yang menarik ikan. Anak ikan, paling tidak dalam penelitian
Raymond dan Widder (2007) terbukti tidak suka dengan gemerlap kehidupan
malam (well, di dasar laut selalu tengah malam anyway).
Jadi
spesies yang dapat ditangkap di dasar laut hanyalah mbahnya ikan,
walaupun anak dan cucunya mungkin sedang asyiknya bermain.
Cumi dengan mata di ujung tentakel
Saat
kita berbicara tentang keanekaragaman spesies, tampaknya kita harus
menerima penelitian Carney (2005) kalau hewan di dasar laut hampir
merupakan kebalikan dari hewan di dekat permukaan laut.
Kita
salah memandang lautan sebagai sebuah tiang ataupun
sebuah piramida terbalik, kita seharusnya memandang lautan sebagai dua
piramida, satu terbalik dan satu lagi tegak.
Masalahnya
apakah dua piramida ini berdampingan, saling bertemu alas, atau saling
bertemu puncak. Rex (1981) sudah menunjukkan kalau keanekaragaman
hayati akan paling banyak di kedalaman menengah. Kedua alas piramidanya
bertemu sehingga seperti intan.
Ikan laut dalam
Sekarang
kesimpulan kita adalah, saat bicara jumlah, jumlah hewan semakin ke
dasar laut semakin sedikit, tapi ukurannya belum tentu. Saat bicara
ukuran, beberapa spesies memang semakin mengecil, sebagian lagi justru
membesar (Collins et al, 2005). Dan saat bicara keanekaragaman, maka
spesies paling beraneka adalah pada kedalaman menengah.
Demikianlah
evolusi membentuk kehidupan. Jika seekor spesies diberikan pilihan
untuk tinggal di dasar, di tengah atau di permukaan samudera, tampaknya
akan lebih mungkin kalau ia memilih hidup di dasar samudera.
Kenapa
tidak, disini predator sedikit, sang predator makan secukupnya saja,
kebutuhan sang spesies pun sama, dia makan dan kawin secukupnya, dan
para penduduk di sini dapat hidup bermalas-malasan menanti emas turun
dari langit.
Mungkin
emas itu adalah seekor ikan paus, yang bisa dikonsumsi hingga 50 tahun
lamanya, bisa dikatakan seumur hidup bagi hewan dasar laut. Sedikitnya
tekanan seleksi alam inilah yang menjelaskan mengapa ikan purba, yang
telah ada ratusan juta tahun lamanya, sang legendaris Coelacanth,
tampak tidak berevolusi sama sekali.
Lalu
pertanyaannya, mengapa Coelacanth tampak tidak berevolusi. Jawabannya
karena Coelacanth mengalami sedikit sekali mutasi karena ia hidup di
laut dalam. Apa yang anda harap dari hewan yang hidup di gua di dasar
laut?
Radiasi
hampir tidak mencapainya, sehingga mutasi sangat langka. Bila mutasi
saja sudah sangat langka, apa yang mau di seleksi oleh alam? Coelacanth
membuktikan prediksi teori evolusi bahwa mutasi dan seleksi alam
merupakan dua faktor yang membangun evolusi sehingga spesies yang tidak
mengalami mutasi dan seleksi alam tidak akan berevolusi.
Sedikitnya
mutasi yang dihadapi oleh Coelacanth sudah cukup untuk membedakan
coelacanth modern, yang ditemukan di Sulawesi dan coelacanth purba,
yang ada di fosil, memiliki perbedaan fenotipe.
Spesies
yang hidup merupakan famili Latimeridae sementara coelacanth purba
merupakan famili coelacanthidae. Perbedaan ini terletak pada perbedaan
ukuran, fosil coelacanthidae lebih kecil daripada latimeridae.
Selain
itu, beberapa struktur internal latimeridae tidak ditemukan pada fosil
coelacanthidae. Terlebih lagi, sisik cosmoid pada spesies modern lebih
tipis dan termodifikasi dibandingkan sisik purba pada fosil yang
ternyata lebih tebal.
Namun
yang lebih nyata ada pada sirip. Sirip latimeridae ternyata telah
sangat termodifikasi. Fosil coelacanthidae sayangnya tidak lengkap.
Siripnya tidak ikut menjadi fosil sehingga ilmuan tidak tahu.
Untungnya,
satu spesies fosil coelacanth baru ditemukan, dan dinamai Shoshonia
arctoperyx. Menurut para penemunya, Friedman et al (2007) fosil sirip
coelacanth ini sangat berbeda dengan sirip Latimeria.
Zimmer
(2007) membuat gambar berikut untuk mengilustrasikannya, perhatikan
perbedaan sirip tersebut. Zimmer bahkan mengatakan kalau status fosil
hidup pada Latimeria sudah tidak pantas lagi disandangnya, hewan ini
terlalu banyak berubah dari leluhurnya di masa lalu.
Perhatikan sirip Latimeria dan Soshonia di ruas kiri (credit: Zimmer, 2007)
Pertanyaan
lain, kenapa ikan dasar laut dikatakan hemat padahal sudah jelas ikan
ini tamak. Beberapa bahkan memakan mangsa yang ukurannya lebih besar
dari dirinya sendiri, dalam sekali telan.
Ini
tentunya salah kaprah, karena ikan demikian ada di antara permukaan
laut dan dasar laut, bukannya di dasar laut. Ikan tersebut hanya berada
di laut dalam tapi belum cukup dalam untuk sampai ke dasarnya.
source: http://www.apakabardunia.com/post/sains/hewan-hewan-ini-hidup-sebagai-pemakan-bangkai-di-dasar-laut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar