Jumat, 10 Desember 2010

Wanita Arab Lebih Memilih Operasi Selaput Dara Di Paris

Karena melanggar tabu, wanita Arab dan negara-negara di Timur Tengah lebih memilih operasi selaput dara di Prancis.

 
Wanita-wanita ini telah melakukan hubungan seks di luar nikah dan jika ketahuan, mereka menghadapi risiko dikucilkan lingkungan mereka sendiri atau bahkan dibunuh.
Dengan tekanan sosial yang begitu besar bahkan beberapa wanita sampai bunuh diri.
Mereka melakukan operasi selaput dara karena ingin memastikan ada darah yang tertumpah di sprei tempat tidur di malam pertama perkawinan.
 
Mereka bersedia mengeluarkan uang sekitar 2.000 euro atau sekitar Rp 24 juta untuk operasi pembedahan yang dapat mengembalikan keperawanan mereka.
Sonia yang tidak ingin identitas aslinya diketahui, misalnya, pergi ke klinik Dr Marc Abecassis di Paris yang melakukan pembedahan untuk menyambung kembali selaput daranya.

“Semula saya sempat berpikir untuk bunuh diri setelah melakukan hubungan seks pertama kali,” kata dia, “Tapi sekarang saya melihat ada jalan keluar.”

Sonia adalah mahasiswi muda berambut cokelat yang sedang belajar seni di sebuah akademi di Paris. Walaupun lahir di Prancis, hidup Sonia sangat kental dengan budaya dan tradisi Arab dan dia tumbuh di bawah pengawasan keluarga besar Arab yang tradisional.

Ia mengatakan tak akan pernah membeberkan rahasia ini ke siapa pun, khususnya kepada calon suaminya nanti. “Saya mengangap ini adalah kehidupan seks saya dan saya tidak perlu memberitahu siapa pun soal ini,” kata dia. “Kaum pria lah yang membuat saya berbohong soal ini,” Sonia menambahkan.

Dr Abecassis melakukan bedah menyambung selaput dara atau disebut juga sebagai “hymenoplasty” paling tidak dua sampai tiga kali seminggu. Proses menyambung kembali selaput dara memerlukan waktu sekitar 30 menit dengan bius lokal. Dia mengatakan rata-rata pasiennya berumur 25 tahun dan mereka berasal dari semua kelas sosial.

Walaupun pembedahan ini dilakukan di seluruh dunia, Dr Abecassis adalah satu dari sedikit ahli bedah keturunan Arab yang mau berbicara secara terbuka mengenai hal ini.

Beberapa wanita datang ke klinik dia karena mereka memerlukan sertifikat perawan sebagai syarat untuk menikah. “Dia bisa menghadapi bahaya karena kadang-kadang ini adalah masalah tradisi dan keluarga,” kata Dr Abecassis. “Saya yakin kami sebagai dokter tak berhak menentukan apapun bagi dia atau menghakimi dia.”

Pabrik-pabrik Cina memimpin dalam industri ini, sekarang ada pilihan non bedah yang tersedia di pasaran. Satu situs internet menjual selaput dara palsu hanya sekitar US$20 atau sekitar Rp 200 ribu. Selaput dara buatan Cina ini terbuat dari bahan elastis yang diisi dengan darah palsu. Begitu dimasukkan ke dalam vagina, wanita penggunanya bisa kembali perawan, begitu klaim perusahaan pembuatnya.

Tapi ini bukan pilihan bagi Nadia. Sebagai anak perempuan yang tumbuh di daerah pedesaan Libanon, dia jatuh cinta dan kemudian kehilangan keperawanannya. “Saya sangat khawatir keluarga saya akan tahu khususnya karena mereka tidak merestui hubungan saya,” kata dia. “Saya takut mereka mungkin akan membunuh saya.”
Setelah berhubungan selama tujuh tahun, keluarga pacarnya ingin anak laki-laki mereka menikahi wanita lain. Nadia berusaha bunuh diri. “Saya minum sebotol Panadol dan sebotol bahan pembersih,” kata dia. “Saya tenggak dan berkata, ‘inilah akhirnya’.” Nadia sekarang berumur 40 tahun dan baru mengetahui soal bedah selaput dara sekitar enam tahun lalu.

Dia sekarang sudah menikah dan punya dua anak. Bagi dia malam pertamanya adalah siksaan yang panjang. “Saya tidak tidur sepanjang malam. Saya menangis,” kata dia. “Saya sangat takut tapi suami saya tidak curiga sama sekali.” Itu adalah rahasia Nadia yang akan dibawanya hingga ke liang kubur. “Saya siap untuk merahasiakan ini sampai mati,” kata dia. “Hanya Tuhan yang akan tahu soal ini.”

Tapi bukan hanya generasi yang lebih tua yang menerima pandangan tradisional soal hubungan seks sebelum nikah ketika memilih seorang istri. Ketika orang menunggu darah tertumpah di kain seprei, itu adalah tradisi budaya, tidak ada hubungannya dengan hukum Syariah

Noor adalah seorang profesional yang bekerja di Damaskus. Dia bisa disebut mewakili kamu muda Suriah dalam masyarakat yang sekuler. Tapi walaupun Noor mengatakan dia percaya pada persamaan hak wanita, di bawah sikapnya yang liberal terletak sikap konservatif yang sudah berurat berakar.

“Saya kenal beberapa wanita yang menjalani bedah ini dan pada malam pertama perkawinan mereka, suami mereka mengetahui,” kata dia. “Mereka sadar istri mereka tidaklah perawan. Walaupun mungkin nanti masyarakat sudah menerima ini, saya tetap akan menolak menikahi wanita seperti ini.”

Para ulama Muslim dengan cepat mengatakan masalah keperawanan itu bukan masalah agama. “Kita harus ingat bahwa ketika orang menunggu darah tertumpah di kain seprei, itu adalah tradisi budaya,” kata ulama Suriah, Sheikh Mohammad Habash. “Ini tidak ada hubungannya dengan hukum Syariah.”

Masyarakat Kristen di Timur Tengah seringkali sangat kuat kepercayaannya bahwa perempuan harus perawan ketika menikah.

Penulis masalah-masalah sosial Arab, Sana Al Khayat yakin seluruh persoalan ini lebih pada soal “kontrol” diri wanita itu sendiri.

sumber tempointeraktif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar