Bioskop Megaria di Jakarta
BIOSKOP MEGARIA adalah bioskop tertua dan merupakan satu-satunya
bangunan besar bergaya arsitektur Art Deco di Jakarta yang masih
bertahan.[1] Peninggalan arsitektur ini merupakan Cagar Budaya Kelas A,
mengingat usianya yang sudah lebih dari 50 tahun, berdasarkan SK
Gubernur DKI Jakarta No. 475 Tahun 1993. Terletak di sudut Jalan
Pegangsaan dan Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, lokasi bioskop Megaria
sangat strategis, karena merupakan pertemuan dari arah Bundaran Hotel
Indonesia, Cikini, Matraman, dan Manggarai.
Bioskop yang awalnya bernama Metropole ini dibangun pada 11 Agustus 1949
dan selesai pada 1951.[2] Peresmian bioskop dihadiri oleh Rahmi Rachim,
istri Wakil Presiden Mohammad Hatta; Sultan Hamengkubuwono IX (1912 –
1988), dan Haji Agus Salim (1884 – 1954),[3] dengan menampilkan film
Annie Get Your Gun (George Sidney, 1950) sebagai pemutaran perdana.[4]
Banyak orang mengira bahwa bioskop ini dirancang oleh arsitek Belanda,
Johannes Martinus (Han) Groenewegen. Namun sebenarnya, bioskop Metropole
dirancang oleh Liauw Goan Seng (sebelum dikoreksi cucunya, Ifke M.
Laquais pada 2007, Liauw Goan Seng disebut Lauw Goan Sing)[5] yang
meninggalkan Indonesia pada 1958 untuk pindah ke Belanda ketika terjadi
naturalisasi.[6] Oleh Liauw Goan Seng, bioskop Metropole dirancang
dengan gaya arsitektur Art Deco—dari kata Art Decorative—sebagai bagian
perkembangan arsitektur dunia Art Nouveau. Tidak seperti Art Nouveau
yang ditandai dengan banyaknya ornamen dekoratif, seperti kaca mozaik,
gambar, serta ukiran, unsur kerumitan pada Art Deco jauh berkurang dan
menjadi lebih sederhana.[7]
Dengan menggunakan blower dan exhaust, bioskop berkapasitas 1446
penonton ini cukup nyaman pada masanya.[8] Ia pun tak sendirian di atas
lahan seluas 11.623m² itu.[9] Seperti bioskop Capitol dan Menteng,[10]
area bioskop Metropole dikelilingi oleh toko-toko dan tempat hiburan. Di
lantai atas bioskop terdapat ruang dansa. Di samping kanan bioskop ada
toko-toko tekstil.[11]
Selain kemegahan arsitektur, kesejukan ruangan, dan fasilitas lain dalam
kompleksnya, faktor penting yang membuat bioskop Metropole menjadi
salah satu bioskop kelas satu saat itu adalah karena bioskop ini memutar
film-film populer Amerika. Dari War and Peace (King Vidor, 1956) sampai
Gone with The Wind (Victor Fleming, 1939), maupun aksi si pirang
Marilyn Monroe atau Robert Mitchum pernah dinikmati di gedung bioskop
ini.[12]
Pada awal 1950-an itu, sebagai salah satu bioskop berkelas, bioskop
Metropole juga tergabung dalam organisasi antarbioskop kelas satu. Salah
satu organisasi yang paling terkenal adalah United Cinemas Combination,
yang terdiri dari bioskop Menteng, Astoria, Capitol, Cinema Grand,
Happy, Sin Thu, dan Globe. Bioskop Metropole sendiri, bersama Bioskop
Cathay, Garden Hall, Mayestic, Orion, Roxy, dan Podium tergabung dalam
Independent Cinemas.[13] Bioskop-bioskop kelas satu itu memutar
film-film produksi Paramount, United Artists, J. Arthur Rank, maupun MGM
(Metro Goldwyn Mayer).[14] Bioskop Metropole sendiri banyak memutar
film-film produksi MGM.
Namun banyaknya film-film Amerika yang diputar di bioskop Metropole, tak
mencegah bioskop ini berperan penting dalam perkembangan film
Indonesia. Pada 1955, film Krisis (Usmar Ismail, 1955) diputar di
bioskop Metropole. Pemutaran film ini merupakan salah satu fenomena
dalam sejarah film Indonesia. Awalnya film Krisis, buah karya Usmar
Ismail (1921 - 1971) yang kemudian dinobatkan sebagai Bapak Film
Indonesia, hendak diputar di Capitol Theater.[15] Pada 1950-an itu,
bahkan sampai 1970-an, memutar film Indonesia di bioskop kelas satu
sangat sulit karena film Indonesia hanya diputar di bioskop-bioskop
kelas C.[16] Keyakinan Usmar Ismail atas Krisis kemudian ditampik dengan
hinaan oleh Weskin, manajer Capitol Theater hingga kabarnya, Usmar
Ismail tak bisa menahan diri lalu memukulnya.[17] Film Krisis lalu
disambut Lie Khik Hwie, manajer utama Bioskop Metropole, sekalipun
perwakilan MGM di Indonesia keberatan. Lie Khik Hwie tak gentar, ia
mengatakan bahwa MGM yang tak memiliki saham sesenpun tak berhak
mengaturnya, dan mengancam akan merobek kontrak dengan MGM.[18] Pihak
MGM lalu membiarkan film Krisis menggeser jadwal film-film
distribusinya, dan ternyata film itu sukses besar. Memecahkan rekor
penonton film Terang Boelan (Albert Balink, 1937),[19] Krisis menjadi
film Indonesia pertama yang bisa sukses di bioskop kelas satu, hingga
diputar selama lima minggu, melebihi film Barat.[20]
Terbukanya kesempatan bagi film Indonesia bisa diputar di Bioskop
Metropole, pada akhirnya memang tak berimbas ke semua film Indonesia.
Bioskop tetap memperhitungkan larisnya penjualan tiket. Namun Bioskop
Metropole pada 1955, bersama sejumlah bioskop lain, sempat menjadi salah
satu bioskop yang turut memutar film-film peserta Festival Film
Indonesia I yang berlangsung pada 30 Maret – 5 April 1955, menjelang
Pemilu pertama Indonesia.[21] Sementara pada 1970, bioskop Metropole,
yang kala itu sudah berganti nama menjadi Megaria, juga menjadi salah
satu bioskop penunjang pelaksanaan Festival Film Asia ke-16 pada April –
Mei 1970, di mana Jakarta menjadi tuan rumah festival. Selain Bioskop
Megaria, bioskop lain penunjang festival tersebut adalah Apollo, Star,
City, Gelora, Menteng, Royal, Krekot, Satria, dan Orient.[22]
bioskop Metropole 21 dipecah menjadi enam studio. Empat studio menempati
gedung depan dan dua studio di gedung belakang, yang masih satu gedung
dengan Hero Supermarket. Bioskop Metropole 21 kemudian sempat berubah
nama menjadi Megaria 21.
Bioskop Metropole, 1950-an. Foto: Sinematek Indonesia
Bioskop Megaria 21, 2002. Foto: TEMPO/Arif Ariadi.
Bioskop Megaria 21, 2007. Foto: Sinematek Indonesia.
Bioskop Metropole XXI, 2010. Foto: Ardi Yunanto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar