Disaat banyak perempuan kesulitan mencapai orgasme, seorang gadis
justru merasa tersiksa karena mengalami penyakit tidak bisa berhenti
orgasme. Kisah nyata ini dialami oleh seorang perempuan Amerika yang
memiliki penyakit Persistent Genital Arousal Disorder (PGAD). Penyakit
ini mengakibatkan seseorang tidak bisa berhenti orgasme dan menahan
rangsangan orgasme, bahkan di saat kondisi non-seksual sekalipun.
Dikutip dari Boingboing, Kamis (15/10/2009), perempuan Amerika yang
dirahasiakan namanya, menceritakan kisah dan penderitaannya mengidap
penyakit PGAD.
“Saya melakukan orgasme pertama kali saat berumur 17 tahun. Ketika itu saya sedang duduk di bangku sekolah, tiba-tiba saya merasa ada sesuatu yang hangat dan merangsang bagian kewanitaan saya. Rasanya seperti ada seseorang yang meremas bagian itu dan saya pun mulai terangsang,” ujar wanita itu.
“Saya melakukan orgasme pertama kali saat berumur 17 tahun. Ketika itu saya sedang duduk di bangku sekolah, tiba-tiba saya merasa ada sesuatu yang hangat dan merangsang bagian kewanitaan saya. Rasanya seperti ada seseorang yang meremas bagian itu dan saya pun mulai terangsang,” ujar wanita itu.
I had my first orgasm at the age of 17. I was sitting at my desk at school when all of a sudden, I felt a warm, pulsing feeling in my genital area. My vagina flared up and I couldn’t think straight. It was like someone had squeegeed my thoughts away. I was like, whoa, what’s that? It felt really erotic and good, but I was also freaked out, scared, and confused. After that, it started happening a few times a day. I searched online for spontaneous orgasms, but all I found was weird porn.
It kept getting worse. During my second semester of senior year, I counted orgasms on a sheet of paper. I was having 100 and 200 a day. I ran to hide in the bathroom between classes to relieve the pressure.
Ia
mengatakan bahwa rangsangan itu membuatnya nyaman dan senang tapi juga
takut dan bingung. Rangsangan orgasme spontan itu pun dialaminya
beberapa kali dalam sehari dan lama kelamaan semakin parah. “Menjelang
semester ke-2 saya kuliah, saya coba menghitung dan mencatat di selembar
kertas berapa kali orgasme yang saya lakukan. Dan ternyata saya
melakukannya 100 hingga 200 kali setiap harinya. Ketika rangsangan itu
muncul, saya selalu lari dan sembunyi di kamar mandi untuk melakukan hal
itu dan menenangkan diri,” tuturnya.
Orgasme yang ia rasakan membuatnya sangat depresi dan tidak bisa konsentrasi. “Saya tidak tahu apa yang salah dengan saya. Saya sering menangis, sembunyi di kamar mandi dan menjadi sangat protektif terhadap privasi sendiri,” imbuhnya. Ketika ia mencoba menjelaskan pada orang lain tentang kondisinya, mereka justru mengolok-oloknya dan mengatakan, ‘Kamu sangat beruntung, saya mau kencan denganmu’. Bahkan seorang psikiater di kampus menganggapnya gila. Akhirnya ketika tingkat 2, ia memutuskan membeli alat vibrator dan mengonsumsi obat penenang.
Orgasme yang ia rasakan membuatnya sangat depresi dan tidak bisa konsentrasi. “Saya tidak tahu apa yang salah dengan saya. Saya sering menangis, sembunyi di kamar mandi dan menjadi sangat protektif terhadap privasi sendiri,” imbuhnya. Ketika ia mencoba menjelaskan pada orang lain tentang kondisinya, mereka justru mengolok-oloknya dan mengatakan, ‘Kamu sangat beruntung, saya mau kencan denganmu’. Bahkan seorang psikiater di kampus menganggapnya gila. Akhirnya ketika tingkat 2, ia memutuskan membeli alat vibrator dan mengonsumsi obat penenang.
Suatu
hari pada tahun 2003, sang perempuan menemukan sebuah artikel dari the
Boston Globe tentang penemuan sebuah penyakit yang disebut dengan
Persistent Sexual Arousal Syndrome (PSAS). “Ketika saya membacanya, saya
menangis histeris karena gejala yang disebutkan sama dengan yang saya
alami. Saya pun langsung membuat janji bertemu dengan institusi yang
memuat artikel itu,” tuturnya. Awalnya para dokter menganggapnya
mengidap penyakit Delusional Hypochondriac atau halusinasi berlebihan.
Namun setelah dilakukan tes, ternyata ia memang benar-benar mengidap
PSAS atau PGAD.
Penyakit
ini sering disebut juga sebagai penyakit hipersensitif pada bagian
kemaluan. Ada yang mengatakan bahwa penyakit ini diakibatkan karena
infeksi jamur pada organ kewanitaan, ada juga yang mengatakan penyakit
ini berhubungan dengan masalah psikologi, namun belum ada bukti cukup
tentang hal itu. “Memiliki penyakit ini bagaikan memiliki detak jantung
tambahan di bagian bawah. Dorongan dari bawah itu akan naik ke otak dan
mengganggu pikiran. Mungkin ini yang dirasakan pria-pria saat terjadi
ereksi,” ujarnya.
Tak
hanya menderita karena penyakitnya itu, sang gadis pun harus menanggung
beban mental karena orang tuanya tidak mau mengerti dengan keadaannya.
“Ibu saya sangat kolot. Ia paling tidak suka mendengar kata orgasme,
bahkan ia menganggap saya kotor karena menemukan beberapa vibrator di
kamar saya. Ia tidak mau mengerti keadaan saya,” jelasnya.
PSAS
adalah penyakit gangguan seksual yang sangat kompleks. Ia tidak hanya
muncul ketika menonton film porno atau melihat sesuatu yang merangsang.
Tapi ia bisa muncul kapan saja, bahkan dalam kondisi biasa-biasa saja.
“Melihat film porno tidak membuat saya terangsang, tapi ketika seseorang
menepuk bahu, hasrat itu justru muncul. Saya tidak bisa memprediksi
kapan hasrat itu muncul. Untuk mengatasinya, saya menghindari olahraga
dan menambah berat badan karena kata orang bisa mengurangi hasrat
seksual,” ujarnya.
“Saat
ini saya berusia 24 tahun dan sudah banyak belajar mengendalikan
penyakit ini. Saya menemukan bahwa olahraga joging dan dansa bisa
mengendalikan saya lebih baik. Saya punya kekasih tapi saya belum pernah
berhubungan seks dengannya selama 6 tahun berpacaran. Meskipun kondisi
saya seperti ini, tapi dia sangat sabar dan selalu menenangkan saya,”
tuturnya.
Penyakit
PSAS saat ini masih diteliti dan diganti namanya menjadi Persistent
Genital Arousal Disorder (PGAD) untuk menghindari stigma miring tentang
penyakit ini. Secara resmi penyakit ini akan dipublikasikan dalam the
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders pada tahun 2012
dan studi pengobatannya pun masih diteliti hingga saat ini.
“Penyakit
ini muncul tiba-tiba dalam hidup saya dan berharap bisa hilang dengan
sendirinya pula. Meskipun saya tidak yakin hal itu bisa terjadi, tapi
saya akan berusaha melakukan apa saja untuk mengatasi penyakit ini,”
ujar sang gadis yang tertunda 2 tahun kuliahnya karena penyakit
tersebut. (Boing-Boing-detik)
Sumber: http://ruanghati.com/2009/11/16/astaga-cewek-ini-bisa-orgasme-100-200-kali-sehari-kenikmatan-yang-tidak-nyaman/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar